Merakit Mesin Mobil!


Kalo soal perkomputeran, sejarah teknologi informasi, intern dan industrial acumen TI boleh gua dibilang masih maestronya, dari 15 tahun yang lalu udah di hired kumpeni gara2 dianggap “kamus berjalan”, dipanggil professor, dianggap dewan syuro mac, tapi soal mobil punten wee… blegug aing mah bwakakaka…
Mulai dari hampir 20 tahun lalu kalo bawa mobil ya seenaknya aja, yang penting bisa mabur, kagak mogok, sampe bagasi dibuka dalemnya ada air ngegenang di kompartemen ban serep, mobil bau kamar mandi karena karet-karet bocor ga keurus, sampe dikasih kapur barus tea, halah pokoknya sekem abis!
Yah mungkin nasib jadi anak bandel dari kecil, suka bawa kabur mobil perang bokap (Land Rover th 66?) sejak kelas 5 SD tea, sekali-kali curi kesempatan bawa mobil kantor *ga sesekem itu kok lah secara kantor bokap strict banget bwakakaa, tapi kadang2 mancing luar kota dikasih kesempatan nyupir kali-kali biar masih diaccompanied tea. Lah mungkin karena emang ga pernah interest dengan yang namanya mesin, dari SD udah hobi ngebongkar, ngebenerin sekaligus ngerusakin walkman, tape, video player, sampe SMP gua tetep pilih mata pelajaran ekskul elektronika (padahal ada otomotif), SMA elektronika lagi, sampe kuliah pun Lab Elka pun ngoprek elektronika lagi. Halah. Singkat kata, pengetahuan mesin gua dari scale 0-100 paling cuma 30 persen. Kalo ibarat game mah ngandelin hoki!
So here I am, sebagai geek non literate soal mesin kena sekem sama montir mulu. Emang secara pengetahuan 10 tahun ini ga bego-bego banget, ilmu mulai terkumpul secara akumulatif pelan tapi pasti (pas kena sekem), nah karena pas ada kebutuhan dan iseng, gua putusin mo belajar sampe tuntas, ga mau tanggung, sekalian belajar ngerakit mesin mobil! kekekee… manstap.
So gua putusin turunin mesin mobil gua, bongkar semua, setelah nyecam 3 kepala montir bengkel resmi, liat semua proses restoring mesin, ganti komponen-komponen fast moving, dan rebuild kembali mesin tersebut.


Proses memakan waktu 3-4 hari, yang lama adalah bagian pembersihan kerak-kerak oli di blok mesin. Selama rentang waktu tersebut gua sempetin menginap di kawasan pinggiran kota Bandung tersebut, jauh di daerah pelosok dari perkotaan. Tepatnya kawasan Nagreg. Disini gua manfaatin untuk berpikir, restoring juga pikiran, melihat penduduk setempat, dan tentunya mencoba membantu sedapat mungkin memberikan wawasan dan ilmu balik yang gua punya. Tentunya pemahaman soal komputer dasar, teknologi, wawasan, dan sedikit soal wejangan hidup. Halah. Lah secara kalo mau mencalonkan diri jadi calon walikota ga bisa mengerti dan membantu warga jangan ngomong atuh!
Yang gua gak habis pikir ini tempat jaraknya cuma 1 jam dari perjalanan dari kota besar seperti Bandung, betapa kita ini para pelaku sektor teknologi informasi maupun orang-orang yang katanya mampu secara ekonomi (dapat mengakses internet buktinya), dan pemerintah (buktinya) sangat tidak memikirkan nasib masyarakat kebanyakan. Yaitu golongan masyarakat tidak mampu baik secara pendidikan, secara ekonomi masih berjuang di layer paling bawah, dan sektor sosial (pendidikan dan kesehatan).
Pengalaman batin ini mahal sekali. Mungkin anda perlu mencoba sekali-kali. Kembali mau ke desa, memikirkan kehidupan masyarakat desa, berbaur dengan masyarakat, membantu dengan wawasan dan keilmuan yang anda miliki untuk membantu peningkatan taraf kehidupan mereka, tidak cuma notabene ngeblog ga mutu, nulis buat narsis sendiri, dan sama sekali tidak bermanfaat buat orang banyak! Lah kalo masyarakat sudah melek IT sih apa-apa butuh tinggal panggil google aja kan beres. Nah kalo masyarakat kebanyakan gimana?
Yang saya ga habis pikir, bagaimana bisa masyarakat yang sudah secara seleksi alam ini sangat potensial (mampu secara teknis) tidak memperoleh dukungan pemerintah sama sekali untuk menaikkan quadran hidupnya ke taraf yang lebih baik. Secara pribadi saya paling tidak setuju dengan model pendidikan di Indonesia saat ini. Pemerintah hanya mampu mendidik masyarakat dengan selembar ijasah yang sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, yang akhirnya hanya akan menghasilkan tingkat penggangguran yang lebih tinggi. Yang seharusnya pemerintah lakukan itu adalah Mengembalikan Pendidikan-Pendidikan Yang Bersifat Keahlian, seperti STM, Balai Latihan Kerja (milik Departemen Pekerjaan Umum dahulu), dan Politeknik.
Yang ada saat ini STM dianggap tidak lebih bergengsi dibandingkan SMA, padahal (punten ya) lulusan SMA bisa apa? Cuma menghasilkan lulusan yang cuma punya selembar kertas (karena mau masuk Perguruan Tinggi pun hampir bisa dibilang tidak mampu), Industri dibuat tidak memiliki akses langsung ke pencari pekerjaan yang trampil, dan seterusnya. Bener-bener lingkaran setan.
Yang akan saya lakukan apabila saya menjadi pemimpin suatu kota adalah mengembalikan kitahnya pola hidup masyarakat ini akan dibawa kemana. Kota-kota dibangun tanpa memikirkan penduduknya (baca: Kota sakit!), ruang publik ditiadakan, akses dari daerah hunian ke tempat kerja tidak dipikirkan, sakit dilarang (baca: mahal), dan paling mendasar adalah: Dilarang Pintar karena Sekolah Itu Mahal. Dilarang Sakit karena Rumah Sakit Itu Mahal.
Astagfirullah. Mau sampe kapan kita dicekokin dengan kondisi begini dan dibuai cuma dengan sinetron-sinetron yang menjual kesemuan? Mohon maaf buat seluruh pelaku sinetron/perfilm-an di Indonesia. Lupakan itu survey ato rating favorit, pertanyaannya anda masih punya hati nurani ga?
Jadi ingat salah satu forum interview/ato tulisan di koran? yang dilakukan terhadap Bapak Fauzi Bowo (Gubernur DKI saat ini), konsep yang beliau utarakan adalah: Masyarakat kecil itu butuh 3 hal. Pertama akses ke teknologi, kedua adalah akses ke pemodalan, ketiga adalah akes pemasaran sederhana.
Saya percaya, kalo masyarakat mampu melek, dan bergandeng tangan dengan pemerintah yang memiliki niat yang baik, kita bakal mampu menjadi negara yang tidak kalah dibandingkan China atau pun India (rising star saat ini).
Ketika saya tanyakan pun apakah mereka memperoleh pendidikan merakit mesin di STM mereka cuma bisa bilang, wah di STM sih cuma dapat ngebongkar dan masang paling juga dinamo jalan (alternator) dan dinamo starter, karena pasti sekolahnya tidak memiliki modal untuk menyediakan mesin untuk sarana praktikum. Jadi murni keahlian yang mereka peroleh murni hasil pengalaman lapangan selama lebih dari 17 tahun! Saya berani tarung, berapa persen pendidikan sarjana mesin dapat menghasilkan lulusan yang terampil luar dalam (tidak hanya mendesain/sebagian malah cuma lulus dengan gelar saja) tapi juga mampu secara teknis melakukan dan menjiwai profesinya. Istilah salah satu orang tua yang makan asam garam di dunia bisnis yang sempat berkomentar kepada saya adalah: Sarjana *beeep* cuma kegedean topi! Coba bayangkan apabila para calon sarjana ini memperoleh pendidikan praktikal dari tingkat pendidikan setara SMA sebelumnya. Jadi sebenarnya yang kita butuhkan itu lebih ke arah pendidikan praktikal bukan hanya kebanyakan teori!
Bayangkan, mereka-mereka diatas yang mampu memiliki keahlian yang luar biasa apabila diberikan 3 hal diatas. Mungkin mereka tidak berhenti cuma jadi montir bengkel, tapi menjadi pemilik usaha perakitan mesin yang handal!

Sumber : http://belajarmeraki.blogspot.com/

Comments